Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus vaksin palsu yang mencuat beberapa hari lalu, diakui para ahli, bisa merepotkan masyarakat. Pasalnya, bagi masyarakat awam, cukup sulit membedakan antara vaksin palsu dan asli. Namun, vaksinolog mengatakan kondisi demam bisa jadi indikator apakah vaksin yang digunakan saat imunisasi, asli atau palsu.
"Sebenarnya semua vaksin bisa membuat demam, tapi tergantung dengan kondisi masing-masing orang. Cuman, kalau vaksin asli biasanya dua hari sudah turun sendiri," kata Dirga Sakti Rambe, vaksinolog lulusan University of Siena, Italy, saat dihubungiCNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Kalau dengan vaksin palsu, selain terjadi demam, laju nafas dan nadi meningkat, anak tampak sakit berat hingga bisa tidak sadarkan diri. Ini berarti terjadi infeksi berat akibat vaksin palsu," lanjutnya.
"Sebenarnya semua vaksin bisa membuat demam, tapi tergantung dengan kondisi masing-masing orang. Cuman, kalau vaksin asli biasanya dua hari sudah turun sendiri," kata Dirga Sakti Rambe, vaksinolog lulusan University of Siena, Italy, saat dihubungiCNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Kalau dengan vaksin palsu, selain terjadi demam, laju nafas dan nadi meningkat, anak tampak sakit berat hingga bisa tidak sadarkan diri. Ini berarti terjadi infeksi berat akibat vaksin palsu," lanjutnya.
Namun, Dirga menyebut peluang terjadinya infeksi berat tersebut, tergantung kondisi masing-masing anak. Menurutnya, bila terjadi infeksi berat dengan tanda-tanda tersebut, dalam waktu dua minggu pertama setelah vaksinasi pertama kali dilakukan, maka pasien harus segera ke dokter.
Vaksin, sejatinya merupakan bakteri atau virus penyebab penyakit yang dilemahkan dan kemudian diberikan ke tubuh manusia, guna merangsang antibodi. Vaksin itu akan menambah pertahanan tubuh terhadap kuman penyebab penyakit tertentu.
Namun, dalam vaksin palsu, tidak terdapat bakteri atau virus tertentu. Disebutkan, vaksin palsu yang beredar, berisi campuran cairan infus dan antibiotik jenis gentacimin dengan dosis setiap imunisasi 0,5 mililiter.
Demam setelah imunisasi, ujar Dirga, wajar terjadi. Itu, karena tubuh sedang 'latihan' melawan kuman yang telah dilemahkan. Namun demam ini tergantung kondisi masing-masing individu. Beberapa individu bahkan tidak merasakan demam setelah imunisasi.
"Kalau divaksin asli juga terjadi demam, namun anak masih lincah, makan, dan berkegiatan lainnya," kata Dirga.
Tapi saat anak justru diberi vaksin palsu yang hanya berisi cairan infus dan antibiotik, proses 'latihan' kekebalan tubuh tersebut tidak tercapai. Selain tidak tercapai, anak bisa jadi jadi kebal penyakit.
“Itu yang lebih mengkhawatirkan.”
Menurut Dirga, hal membahayakan dari vaksin palsu, bukan dari bahan seperti infus dan antibiotik, tapi justru cara meracik vaksin tersebut. Proses pencampuran yang tidak steril memungkinkan bakteri atau virus di lingkungan pembuat, masuk ke dalam cairan vaksin palsu.
Akibatnya, ketika anak terpapar vaksin palsu, bukan kuman lemah yang masuk ke tubuh agar menjadi 'latihan' antibodi, melainkan kuman aktif sehingga membuat anak semakin sakit. Beruntung, bila anak lahir dengan imunitas kuat.
"Demam antara vaksin asli dan palsu sama, namun kalau infeksi, bisa lebih lama walaupun belum tentu dari vaksin palsu. Baiknya kontrol kembali ke dokter yang suntik apa reaksi yang muncul lazim atau tidak," jelas Dirga.
"Dampak jelasnya seperti apa, harus menunggu kepastian zat yang digunakan dalam vaksin palsu. Setelah itu, baru bisa diperiksa dampak jangka pendek dan panjangnya. Namun bila berdasarkan pernyataan pelaku, ya dampak buruknya hanya risiko infeksi. Ini masih risiko, karena bisa terjadi, bisa tidak, tergantung individu."
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu menyarankan orangtua harus melakukan vakninasi ulang, bila anaknya ternyata terkena vaksin palsu.
"Kalau vaksinasi bukan di rumah sakit yang terdampak tidak perlu khawatir. Sedangkan bila vaksinasi di rumah sakit yang terkena kasus, pasti ada rekomendasi resmi dari Kementerian Kesehatan,” tegas Dirga, yang menambahkan Kementerian Kesehatan sudah memastikan vaksin di Puskesmas sama sekali tidak ada yang palsu.
Vaksin, sejatinya merupakan bakteri atau virus penyebab penyakit yang dilemahkan dan kemudian diberikan ke tubuh manusia, guna merangsang antibodi. Vaksin itu akan menambah pertahanan tubuh terhadap kuman penyebab penyakit tertentu.
Namun, dalam vaksin palsu, tidak terdapat bakteri atau virus tertentu. Disebutkan, vaksin palsu yang beredar, berisi campuran cairan infus dan antibiotik jenis gentacimin dengan dosis setiap imunisasi 0,5 mililiter.
Demam setelah imunisasi, ujar Dirga, wajar terjadi. Itu, karena tubuh sedang 'latihan' melawan kuman yang telah dilemahkan. Namun demam ini tergantung kondisi masing-masing individu. Beberapa individu bahkan tidak merasakan demam setelah imunisasi.
"Kalau divaksin asli juga terjadi demam, namun anak masih lincah, makan, dan berkegiatan lainnya," kata Dirga.
Tapi saat anak justru diberi vaksin palsu yang hanya berisi cairan infus dan antibiotik, proses 'latihan' kekebalan tubuh tersebut tidak tercapai. Selain tidak tercapai, anak bisa jadi jadi kebal penyakit.
“Itu yang lebih mengkhawatirkan.”
Menurut Dirga, hal membahayakan dari vaksin palsu, bukan dari bahan seperti infus dan antibiotik, tapi justru cara meracik vaksin tersebut. Proses pencampuran yang tidak steril memungkinkan bakteri atau virus di lingkungan pembuat, masuk ke dalam cairan vaksin palsu.
Akibatnya, ketika anak terpapar vaksin palsu, bukan kuman lemah yang masuk ke tubuh agar menjadi 'latihan' antibodi, melainkan kuman aktif sehingga membuat anak semakin sakit. Beruntung, bila anak lahir dengan imunitas kuat.
"Demam antara vaksin asli dan palsu sama, namun kalau infeksi, bisa lebih lama walaupun belum tentu dari vaksin palsu. Baiknya kontrol kembali ke dokter yang suntik apa reaksi yang muncul lazim atau tidak," jelas Dirga.
"Dampak jelasnya seperti apa, harus menunggu kepastian zat yang digunakan dalam vaksin palsu. Setelah itu, baru bisa diperiksa dampak jangka pendek dan panjangnya. Namun bila berdasarkan pernyataan pelaku, ya dampak buruknya hanya risiko infeksi. Ini masih risiko, karena bisa terjadi, bisa tidak, tergantung individu."
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu menyarankan orangtua harus melakukan vakninasi ulang, bila anaknya ternyata terkena vaksin palsu.
"Kalau vaksinasi bukan di rumah sakit yang terdampak tidak perlu khawatir. Sedangkan bila vaksinasi di rumah sakit yang terkena kasus, pasti ada rekomendasi resmi dari Kementerian Kesehatan,” tegas Dirga, yang menambahkan Kementerian Kesehatan sudah memastikan vaksin di Puskesmas sama sekali tidak ada yang palsu.
0 komentar:
Posting Komentar